Bintang-bintang itu bertaburan menerawang di dada langit. Sedang aku mencongak bilangan bintang pada malam kelam, bahuku ditepuk lembut. Ana Ilyani, namaku diseru. Aku berpaling, wajahku suram sesejuk hati. Ibu meggenggam tanganku dengan penuh kasih sayang. Menghangatkan kesejukan yang bertandang. Berhati-hati ibu menarikku duduk di bangku putih itu. Bunyi cengkerik seolah-olah menyanyikan lagu duka yang sedang aku hadapi. Fikiran aku menerawang jauh. Ibu hanya mendiamkan diri. Namun, tiap detik yang kurasakan berlalu pantas. Seolah-olah tanpa bicara aku sudah bercerita padanya. Ketenangan malam menambahkan kesyahduan, tanpa kata air mataku mula mengalir. Perlahan-lahan ibu menyentuh pipiku lembut. Di usup-usup bahuku. Tanganku ditarik lembut masuk ke dalam rumah. Ana Ilyani menutup kedua matanya. Namun, dia tidak mampu untuk melelapkan mata. Setiap kali dia cuba bayangan itu menari-nari seolah-olah tiada penamat. Ana Ilyani menangis lagi. Lantas dia bangun menuju ke meja tulis yang kelihatan kemas tersusun. Ana mengambil dairi hijaunya. Dia mula mencatat sesuatu, setiap helaian terdapat lopak-lopak air matanya yang tumpah.
Dairi Ana Ilyani
Dia pergi tanpa pamitan.
Hari ini, aku sendiri tanpamu sahabatku. Aku terpaku disini. Masih mengharapkan semua ini mimpi ngeri. Percayalah, tiada sekelumit pun dendam dihatiku. Aku memaafkanmu tanpa syarat. Tapi mengapa terlalu cepat dirimu pergi dariku. Mungkinkah akan aku lupakan segalanya yang telah terjadi ini. Kita dipertemukan atas dasar janji diantara dua hati untuk saling memberi tanpa mengharapkan balasan. Sahabatku.... kenapa dikhianati janji tulus itu. Sayangnya aku pada persahabatan kita yang bertahun ini tidak pernah hilang. Percayalah, saat ini aku bertekad. Selangkah engkau berlari meninggalkanku, seribu langkah aku mengejar dirimu. Bukan untuk menyakitimu tapi untuk membuktikan aku menyayangimu tanpa syarat. Seerat itu cintaku pada persahabatan kita.
Menyelip satu ketenangan setelah segalanya tersurat di dalam dairi hijau. Semoga kita dipertemukan lagi.
Dairi Ana Ilyani
Dia pergi tanpa pamitan.
Hari ini, aku sendiri tanpamu sahabatku. Aku terpaku disini. Masih mengharapkan semua ini mimpi ngeri. Percayalah, tiada sekelumit pun dendam dihatiku. Aku memaafkanmu tanpa syarat. Tapi mengapa terlalu cepat dirimu pergi dariku. Mungkinkah akan aku lupakan segalanya yang telah terjadi ini. Kita dipertemukan atas dasar janji diantara dua hati untuk saling memberi tanpa mengharapkan balasan. Sahabatku.... kenapa dikhianati janji tulus itu. Sayangnya aku pada persahabatan kita yang bertahun ini tidak pernah hilang. Percayalah, saat ini aku bertekad. Selangkah engkau berlari meninggalkanku, seribu langkah aku mengejar dirimu. Bukan untuk menyakitimu tapi untuk membuktikan aku menyayangimu tanpa syarat. Seerat itu cintaku pada persahabatan kita.
Menyelip satu ketenangan setelah segalanya tersurat di dalam dairi hijau. Semoga kita dipertemukan lagi.
No comments:
Post a Comment